ANALISIS PROBABILITAS SPREAD F IONOSFER LINTANG RENDAH SEKTOR INDONESIA

Asnawi Husin

Abstract

Tulisan ini membahas analisis kemunculan spread F dan validasi probabilitas kemunculan Spread F dari Model global ionosfer, IRI (International Reference Ionosphere)  untuk lintang rendah sektor Indonesia. Prosentase kemunculan spread F periode 2007 hingga 2013 dari dua titik pengamatan yaitu stasiun Agam (0,3o LS, 100,3o BT, Lintang geomagnet 9,8) dan Tanjungsari (6,5oLS 107.6o BT, Lintang geomagnet 16,04) dihitung untuk mendapatkan informasi klimatologi kemunculan spread F di Indonesia. Spread F adalah fenomena gangguan kerapatan elektron ionosfer yang merupakan komponen penting cuaca antariksa. Fenomena spread F di lintang ekuator kemunculannya cukup tinggi dan dikenal sebagai equatorial spread F, (ESF) yang masih terus dikaji karena efeknya pada gelombang radio yang dapat menyebabkan fading pada komunikasi pita frekuensi tinggi (band frequency  HF) dan loss of lock pada sinyal GNSS. Teori umum dalam menjabarkan mekanisme gangguan ionosfer terkait kemunculan spread F adalah perubahan non liner ketidakstabilan Rayleigh-Taylor dikombinasikan dengan laju atau drift E x B. Hasil analisis probablitias kemunculan spread F di Agam dan Tanjungsari diperoleh pola yang hampir sama, namun demikian tingkat hubungan antara kemunculan di dua tempat tersebut tidak cukup kuat dengan nilai koefisien korelasi adalah 0.58. Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan spread F secara umum bersifat lokal. Kemunculan spread F saat aktivitas matahari minum umumnya terjadi pada Solatis Juni, didominasi tipe PM (setelah tengah malam, Post Midnight) sebaliknya saat matahari tinggi, tipe kemunculan PS (Post Sunset) lebih dominan dengan pola ekuinoks dua puncak (Maret-April dan September-Oktber). Validasi model IRI secara umum lebih tinggi (overestimate) di lintang rendah Indonesia. Tingkat hubungan antara model dengan data pengamatan sangat lemah bahkan tidak searah (koefisien bernilai negatif). Dari identifikasi periode dominan menggunakan analsis wavelet, di peroleh periode harian, yaitu muncul pada malam hari, tetapi periode tersebut tidak disemua bulan dan tahun. Ditemukan juga periode 6 hari dan 12 hari, yang terkait dengan modulasi gelombang planetari.

Keywords

Ionosfer, IRI model, Spread F

Full Text:

PDF

References

Ionosfer, IRI model, Spread F

PENDAHULUAN

Fenomena spread di lintang rendah ekuator dikenal sebagai Equatorial Spread F (ESF). Kemunculannya ditandai dengan jejak (trace echos) yang menyebar pada frekuensi (type frequncy) dan menyebar pada ketinggian (tipe range) dari data ionogram dari pengamatan menggunakna ionosonda. Kemunculan spread F dikaitkan dengan terjadinya ketidakstabilan plasma ionosfer yaitu gelembung plasma. Gangguan yang ditimbulkan dapat terjadi pada skala waktu detik hingga jam atau pada skala centimeter hingga kilometer. Ketidakstabilan plasma ionosfer ini telah dilaporkan dapat menyebabkan gangguan komunikasi radio HF (High Frequency, 3-30 MHz), menurunkan tingkat akurasi posisi navigasi berbasis satelit yang dikenali sebagai sintilasi ionosfer dan juga menyebabkan ayunan pada sinyal satelit telekomunikasi. Fenomena spread, sintilasi dan gelembung merupakan fenomena dinamika perubahn plasma ionosfer yang saling berkaitan.

Lebih dari seperempat abad, teori yang masih dipakai dalam menjabarkan mekanisme gangguan ionosfer terkait kemunculan spread F adalah perubahan non liner ketidakstabilan Rayleigh-Taylor dikombinasikan dengan laju atau drift E x B. (Basu and Kelley 1979; Kelley and Maclure, 1981; Ossakow, 1981; Uemoto et al, 2010). Penelitian terkait ESF juga sudah dilaporkan oleh peneliti LAPAN diantaranya; Buldan et al (2001), Tarigan et al (2009). Penelitian paling mutahir dilakukan peneliti LAPAN oleh Abadi et al (2015) dengan menggunakan data ionosonde Indonesia, dan menemukan bahwa ketinggian lapisan F dan laju E x B di ekuator magnetik setelah matahari terbenam, yang disebut juga PRE (pre-reversal enhancement) dapat mengontrol laju penyebaran gelembung plasma. Menurut Wernik et al (2004) bahwa gangguan ionosfer di ekuator yang sering kali diikuti dengan kemunculan ESF, gelembung plasma dan sintilasi ionosfer secara umum mekanismenya adalah:

• Dimulai setelah matahari terbenam saat kecepatan drift keatas, yaitu kenaikan lapisan F (upward drift) 15 hingga 20 meter/detik (saat aktivitas matahari minimum) dan 30 hingga 45 meter/detik (saat matahari maksimum),

• Perubahan kerapatan elektron bagian bawah lapisan F dan ketidakstabilan Rayleigh-Taylor memicu terbentuk struktur plume dan gelembung plasma. Gelembung akan bergerak keatas disebabkan gaya elektrodinamika E x B dan selanjutnya cenderung bergerak kearah timur mengikuti gerak normal plasma.

Skema umum elektrodinamika kopling proses yang menjadi faktor penyebab terjadinya ESF setelah matahari terbenam (post sunset ps) ditunjukkan diagaram pada gambar 1.1 (Abdu, 2012).

Gambar 1-1: Skema umum elektrodinamika kopling proses yang dapat membangkitkan kemunculan spread F (Abdu 2012)

Dari skema gambar 1.1 tersebut yang paling dekat hubungannya dengan kemunculan ESF adalah fenomen PRE (Pre-Reversal Enhancement) yang diikuti dengan kenaikan ketinggian lapisan F. Fejer at al (1991a, 1999b), Abdu et al 1985, dan Abdu, (2012) menyatakan bahwa variasi harian medan listrik zonal yang memicu PRE di kontrol oleh flux ekstrim ultra violet, yang dapat diwakilkan dengan index F10.7. Sedangkan variasi jangka menengah dipengaruhi perubahan musim, dan longitudinal yang dikontrol sudut diklinasi magnetik dan deklinasi matahari (Maruyama et al (1984) ; Tsunoda (1985).

Model prediksi probabilitas spread F pada model IRI adalah hasil pengembangan menggunakan data di lintang Brasil (Abdu et al 2003). Prediksi probabilitas spread F dengan input lintang, waktu lokal, hari dalam tahun (doy, day of year) dan aktivitas matahari (Bilitza and Reinisch, 2008).

Dengan data yang panjang dapat diketahui karakteristik kemunculannya dan juga dapat dilakukan pemodelan. Namun demikian model yang dibangun masih sebatas model probabilitas. Model ionosfer yang menjadi standar internasional adalah model IRI, (International Reference Ionosphere) (https://iri.gsfc.nasa.gov/). Model IRI mulai dibangun pada tahun 2001, salah satu parameter luaran model ini adalah prediksi probabilitas kemunculan spread F yang mulai dikembangkan pada versi tahun 2007. IRI 2007 dan versi terakhir 2016 mampu memprediksi probabilitas kemunculan spread F sebagai fungsi fluks radio matahari F10,7 cm. Idealnya model IRI dapat diterapkan untuk memprediksi parameter ionosfer lokal seperti prosentase kemunculan spread F. Untuk aplikasi regional Indonesia, maka model probabilitas spread F dari model IRI perlu dilakukan uji validasi menggunakan data Indonesia. Makalah ini membahas kajian probalitas kemunculan spread F di lintang rendah Indonesia serta validasi model probabilitas kemunculan spread F dari model IRI dengan data hasil pengamatan spread F wilayah Indonesia. Tingkat akurasi model serta hasil validasi model dapat menjadi rujukan untuk prediksi kemunculan spread F serta menjadi tolak ukur dalam pengembangan model lokal probabilitas kemunculan spread F regional Indonesia.

METODOLOGI

Pengamatan spread F paling umum adalah menggunakan ionosonda. Data yang digunakan untuk analisis probalitas kemunculan spread F dan untuk validasi model adalah data ionosonda stasiun Tanjugsari dan Agam. Tahun data dan posisi lintang geografi dan lintang geomagnet ditunjukkan pada Table 1. Data model IRI disesuaikan dengan lokasi dan waktu pengamatan dengan imput model adalah data fluks radio matahari F10.7 yang diambil dilaman https://celestrak. com /SpaceData/SpaceWx -format.asp.

Tabel 2-1: DATA SPREAD F STASIUN IONOSONDA

Stasiun Iono-sonda Lintang (Geo-grafi) Bujur (Geo-grafi) Lintang (Geo

magnet) Tahun

Data

Tj Sari -6,5 107,6 16,04 07-13

Agam -0,3 100,4 9,8 07-13

Untuk menghintung prosentase probabilitas kemunculan spread F (ESF), dari ionosonda maka jumlah ESF dibagi jumlah data (N), ditulis sebagai persamaan 1, yaitu

"%ESF= " "ESF yang muncul" /"N data" " x 100 " ..........(1)

Analisis wavelet dilakukan untuk melihat periode dominan dari kemunculan spread F. Data runtun waktu prosentase kemunculan spread dianggap sebagai sinyal fungsi waktu y(t), wavelet mentrasformasi dekomposisi sinyal tersebut ke dalam beberapa fungsi dasar ψab(t) dengan translasi dan delatasi wavelet ibu (mother) yaitu:

φ_ab= 1/〖(a)〗^(1/2) φ((t-b)/a) ..........(2)

dengan, b adalah translasi dan a>0 adalah dilatasi dari wavelet (Lau and Weng, 1995). Wavelet ibu (mother wavelet) yang dipilih dalam analisis adalah morelet, dengan mengaktifkan fungsi toolbox yang telah disediakan oleh Matlab@ .

HASIL PEMBAHASAN

Data hasil prosentase kejadian spreaf F dengan menggunakan persamaan (1) dibuat dalam bentuk grafik dengan sumbu mendatar (x) adalah tahun pengamatan (dari 2007 hingga 2013), sumbu tegak (y) adalah waktu kejadian spread F (dari pukul 18:00 hingga 06:00 waktu lokal) dan warna bar menunujukkan persen kejadian spraead F. seperti ditunjukkan pada gambar 3.1 untuk stasiun Agam, gambar (A) dan Tanjungsari gambar (B) dari tahun 2007 hingga 2013. Dari gambar 3.1 A dan B tersebut dapat dilihat pola kemunculan yang hampir sama antara stasiun Tanjungsari dan Agam. Namun demikian apabila dilakukan analisis korelasi, maka nilai koefisien korelasi (R) kejadian spread F antara kedua stasiun bernilai 0.58 seperti ditunjukkan pada gabar 3.2. Artinya kemunculan spread F secara umum bersifat lokal dengan korelasi sedang antara kedua stasiun. Garis merah pada gambar 3.1 memisahkan antara kemunculan setelah matahari terbenam (PS) dan setelah tengah malam (PM). Dari pengamatan AGAM, secara umum jumlah kemunculan spread F PS lebih tinggi terutama pada saat aktivitas matahari maksimum (tahun 2010 hingga 2013). Sedangkan pada saat aktivitas matahari rendah (2007 hingga 2009) jumlah PM lebih tinggi. Untuk pengamatan dari Tanjungsari, jumlah PM lebih tinggi baik saat aktivitas matahari rendah maupun saat matahari tinggi. Dan yang menarik bahwa kumunclan PS tersebut terlihat lebih cenderung mendekatai PM yaitu sekitar 22:00. Perbedaan ini boleh jadi disebabkan oleh letak Tanjungsari yang tepat berada pada puncak anomali ionosfer.

Gambar 3-1: Pola kemunculan spread F dari pengamatan di stasiun Agam (A) dan Tanjungsari (B)

Gambar 3-2: Korelasi kemunculan spread F antara Agam dan Tanjungsari

Data model IRI untuk prediksi probabilitas spread F diperoleh dengan proses dijelaskan pada bagian 2. Hasil keluaran model IRI ditunjukkan pada gambar 3.3. Dari gambar 3.3 ini menunjukkan bahwa pola model ini kemunculan spread F di stasiun Agam dan Tanjungsari dari 2007 hingga 2013 sangat mirip dengan kemunculan tertinggi setelah matahari terbenam (PS). Kemunculan setelah tengah malam (PM) tidak signifikan ditunjukkan oleh model IRI.

Gambar 3-3: Prosentase kemunculan spread F model IRI untuk stasiun Agam dan Tanjungsari

Apabila dibandingkan dengan data pengamatan, maka hasil model IRI sangat berbeda pola kemunculannya dengan hasil pengamatan. Pada model IRI, kemunculan spread F didominasi setelah matahari terbenam (PS) yaitu mulai jam 18:00 dengan maksimum disekitar jam 21:00. Kemunculan spread F setelah tengah malam (PM) pada model IRI kurang 30% sedangkan dari data pengamatan di Agam dan Tanjungsari, kemunculan setelah tengah malam diatas 50% terutama saat aktivitas matahari rendah. Dari hasil analisis korelasi antara model dan data pengamatan, menunjukkan anti korelasi dengan korelasi bernilai negatif, R = -0,36 untuk korelasi model IRI dengan data Agam, ditunjukkan pada gambar 3.4 (a) dan R=-0,30 untuk perbandingan dengan Tanjungsari, gambar 3.4(b).

Aktivitas matahari secara umum mempengaruhi pola kemunculan spread F. Gambar 3.5 menunjukkan pola kemunculan spread F yang berbeda saat aktivitas matahari rendah yang diwakili tahun 2008 hingga 2009 dan saat aktivitas matahari tinggi tahun 2011 hingga 2013. Pada saat aktivitas matahari rendah kemunculan spread F didominasi PM yang terjadi pada sekitar bulan Juli - Agustus, dikenal sebagai Solastis Juni. Pola Solatis Juni juga dilaporkan oleh Naranjan et al (2003) dan (Tsunoda 2010). Dapat dilihat juga bahwa pada matahari minimum pola musim ekuinoks (Maret-April dan September-Oktober) tidak terlihat baik pada stasiun Agam maupun pada stasiun Tanjungsari. Sedangkan pada saat akvitas matahari tinggi yang diwakili tahun 2011 hingga 2013, pola dua puncak ekuinoks jelas terlihat, terutama dari stasiun Agam dan tahun 2013 pada stasiun Tanjungsari.

Gambar 3-4: Korelasi kemunculan spread F model IRI terhadap data pengamtatan Agam dan Tanjungsari

Gambar 3-5: Prosentase kemunculan spread F saat matahari minimum dari pengamatan a) Agamd dan b) Tanjungsari

Pola dua puncak ekuinoks kemunculan spread F di stasiun Agam didominasi oleh spread F tipe PS. Hal ini membuktikan bahwa kecepatan drift keatas E x B yang lebih tinggi pada saat aktivitas matahari maksimum diikuti dengan kemunculan spread F tipe PS yang lebih intens seperti teori yang diungkap oleh Wernik et al (2004) yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Namun demikian, Abdu et al (1992) melaporkan bahwa aspek diklinasi magnetik dan efek longitudinal (Maruyama and Matura 1984) juga mempengaruhi kemunculan spread F yang menyebabkan pola yang berbeda dari kemunculan di Tanjungsari.

Gambar 3-6: Prosentase kemunculan spread F saat matahari maksimm dari pengamatan a) Agamd dan b) Tanjungsari

Sedangkan kemunculan spread F tipe PM yang dominan terjadi pada saat matahari minimum terkait dengan MTM (midnight Temperatur Maximum) yang tinggi pada soltis juni (Herraro et al 2003).

Dari analisis wavelet menggunakan morelet pada persamaan (2) untuk indentifikasi periode dominan data runtun waktu probabiliti spread F dari tahun 2007 hingga 2013 stasiun Agam, diperoleh periode setengah harian (dari jam 18:00 hingga jam 06:00), tetapi kemunculan tidak setiap bulan seperti ditunjukkan pada gambar 3.7 (a). Pada gambar 3.7 (a) juga muncul periode dengan intensitas tinggi disekitar 130 jam hingga 180 jam. Namun demikian dengan mengadopsi metode Torrence and Commpo (1998) yaitu dengan melakukan normalisasi data terlebih dahulu, maka hasil mendapatkan periode yang dominan lebih jelas. Gambar 3.7(b) adalah runtun waktu data spread F yang telah di normalisasi dengan simpangan baku, dan dapat dilihat pada gambar e) rerata varian nya, dengan varian tertinggi mulai tahun 2009 hingga 2013 saat aktivitas matahari mulai meninggi.

Gambar 3-7: wavelet analisis prosentase kemunculan spread F

Pada gambar c) adalah wavelet power spektrum, terdapat dua periode dominan yaitu periode sekitar 12 jam, periode harian sama seperti gambar a) dan periode ini tidak muncul pada setiap bulan dan dimulai pada tahun 2009 hingga 2013 (matahari maksimum). Periode lainnya yang muncul yaitu sekitar 120 jam hingga 148 jam, atau periode sekitar 12 hari. Dominasi kedua periode juga ditunjukkan pada gambar d) yaitu global power spektrum dengan puncak melebihi latar belakang spektrum wavelet (garis putus-putus). Periode sekitar 12 hari juga ditemukan juga oleh Bertoni et al (2011) dari pengamatan spread F lintang rendah sektor Brasil, di identifikasi sebagai manifestasi gelombang planetary. Selain itu, periode sekitar 6 hari (80 jam) juga muncul tetapi hanya di tahun 2012. Periode ini juga masih terkait dengan modulasi gelombang planetary.

KESIMPULAN

Pola kemunculan spread F di Agam dan di Tanjungsari hampir sama, namun demikian tingkat hubungan antara kemunculan di dua tempat tersebut tidak cukup kuat dengan nilai koefisien korelasi adalah 0.58. Artinya bahwa kemunculan spread F di lintang rendah Indonesia secara umum bersifat lokal yang dipengaruhi efek longitudinal. Pola kemunculan saat aktivitas matahari minum umumnya pada Solatis Juni, dengan kemunculan terbanyak adalah tipe PM (setelah tengah malam). Sedangkan pada saat matahari tinggi, tipe kemunculan PS (setelah matahari terbenam) lebih dominan dengan pola ekuinoks dua puncak (Maret-April dan September-Oktber). Hal ini menujukkan bahwa kecepatan drift E x B lebih tinggi dibanding saat matahari rendah. Model IRI untuk probablitas kemunculan spread F secara umum lebih tinggi (overestimate) di lintang rendah Indonesia. Tingkat hubungan antara model dengan data pengamatan tidak searah (koefisien bernilai negatif). Variasi kemunculan spread F model IRI didominasi kemunculan PS dan menunjukkan pola yang teratur serta kurang dapat menunjukkan pola PM. Sedangkan hasil pengamatan menunjukkan pola kemunculan PM yang lebih intens, pada Solatis Juni terutama saat aktivitas matahari minimum. Dari identifikasi periode dominan menggunakan analsis wavelet, di peroleh periode harian, yaitu muncul pada malam hari, tetapi tidak disemua bulan dan tahun. Ditemukan juga periode 6 hari dan 12 hari, yang terkait dengan modulasi gelombang planetari.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Agam dan Tanjungsari Sumedang untuk data ionosonda serta team scaling data ionogram Pusat Sains Antariksa yang telah menyediakan data hasil scaling ionogram parameter spread F.

DAFTAR RUJUKAN

Abadi P., Y. Otsuka, and T. Tsugawa, 2005. Effects of pre-reversal enhancement of E × B drift on the latitudinal extension of plasma bubble in Southeast Asia. Journal Earth, Planets and Space 67:74 doi: 10.1186/s40623-015-0246-7

Abdu M. A, J. H. A. Sobral, O. R. Nelson and I. S. Batista, 1985. Solar cycle related range type spread f occurrence characteristics over equatorial and low latitude stations in brazil, J. Atmospheric Sol.-Terr. Phys, 47, 901.

Abdu M. A, I. S. Batista, J. H. A. Sobral, 1992. A new aspect of magnetic declination control of equatorial spread F and F region dynamo. J. Geophys Res, 97(a10) 14897–14904. doi: 10.1029/92JA00826

Abdu, M A., J. Souza, I. S. Batista, and J. H. A. Sobral, 2003. Equatorial Spread-f statisticsand empirical representation for IRI: A regional model for the Brazilian longitude sector, Adv. Space Res ., 31(3), 703–716.

Abdu, M. A, 2012. Equatorial spread F development and quiet time variability under solar minimum conditions, Indian Journal of Radio and Space Physics, 41,168-83

Basu, S and MC Kelley 1979. A review of recent observations of equatorial scintillations and their relationship to current theories of F region irregularity generation, Radio Sci 14, 471-478.

‎Bertoni F.C.P., Y. Sahai, J. P. Raulin, P. R. Fagundes, V. G. Pillat, C. G. Gimenez de Castro, W.L.C. Lima, 2011. Equatorial spread-F occurrence observed at two near equatorial stations in the Brazilian sector and its occurrence modulated by planetary waves. J. Atmospheric Sol.-Terr. Phys 73(4):457-463 DOI10.1016/j. jastp. 2010.10.017

Bilitza D., and B. W. Reinisch, 2008. International reference ionosphere 2007: improvements and new parameters, Adv Space Res, 42, 599 –609, doi:10.1016/ j.asr.2007.07.048

Briggs, B.G., and I. A. Parkin, 1963. On the variation ofradio star and satellite scintillations with zenith angle, J. Atmospheric Sol.-Terr. Phys, 25, 339-365.

Buldan Muslim, Sarmoko Saroso dan The Houw Liong, 2001. Variabilitas Harian Equatorial Spread F di Atas Biak (01o LS, 135o BT). Journal Kontribusi Fisika Indonesia. Vol. 12, No.3, 81-87.

Fejer B. G, E. R. De Paula, S. A. Gonzalez, and R. F. Woodman, 1991. Average vertical and zonal f-region plasma drifts over jicamarca, J. Geophys. Res., 96,13901.

Fejer B. G, I. Scherliess, and E. R. de Paula, 1999. Effects of the vertical plasma drift velocity on the generation and evolution of equatorial spread F, J. Geophys. Res, 104 19, 854.

Hardy R. L, 1990. Theory and Applications of Multuquadric- Biharmonic Method. Computers & Mathematics with Applications, 19, 163-208.

Herraro, F. A., N. W. Spencer, and H. G Mayr, 2003. Thermopspheric and F-region plasma dynamics in the equatorial region, Adv. Space Rese 13, 201–220.

Kelly MC and J P. Maclure, 1981. Equatorial spread- F: A review ofrecent experimental result. J. Atmospheric Sol.-Terr. Phys, 43 427-435

Lau K. M., and H. Y. Weng, 1995. Climate signal detection using wavelet transform: How to make a time series sing. Bull. Amer. Meteor. Soc., 76, 2391–2402

Maruyama T., and N. Matuura, 1984. Longitudinal variability of annual changes in activity of equatorial spread f and plasma bubbles, J. Geophys. Res, 89 (a12) 10,903.

Ossakow S. L, 1981. Spread F theories - a review, J. Atmospheric Sol.-Terr. Phys, 43, 43l7-452.

Tarigan M dan Buldan Muslim, 2009. Variasi ketinggian lapisan F ionosfer pada saat kejadian Spread F. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009

Torrence C., and G. P. Compo, 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull. Amer. Meteor. Soc., 79(1), 61-78.

Tsunoda R. T, 1985. Control of the seasonal and longitudinal occurrence of equatorial scintillations by the longitudinal gradient in integrated e region pedersen conductivity, J. Geophys. Res, 90, doi: 10.1029/ja090ia01p00447.

Tsunoda R. T, 2010. On seeding equatorial spread F during solstices, Geophys. Res. Lett., 37, L05102, doi:10.1029/2010GL042576.

Uemoto J., T. Maruyama, S. Saito, M. Ishii, and R. Yushimura, 2010. Relationship between presunset electrojet strength, PRE and ESF Onset, Journal Annele. Geophysics., 28, 449–454

Wernik A. W, L. Alfonsi and M. Materassi, (2004): Ionospheric irregularities, scintillation and its effect on systems, Acta Geophysica Polonica, 52 (2), 237-249

Yeh, C. K. and C. H. Liu, 1982. Radio wave scintillations in the ionosphere, Proc. IEEE, 70 (4), 324-360.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.